Kamis, 03 Mei 2012

Konflik antar Agama


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Dinamika sejarah manusia dalam beragama kerapkali membawa nuansa kekerasan dan peperangan. Berbicara mengenai agama ibarat berbicara tentang suatu paradoks. Di satu sisi, agama diyakini sebagai jalan menuju keselamatan, cinta, dan perdamaian. Di sisi lain, sejarah membuktikan agama justru menjadi sumber, penyebab, dan justifikasi terhadap tindakan kekerasan dan kehancuran umat manusia. Karena agama, orang dapat saling mencinta. Karena agama pula, orang dapat membunuh dan menghancurkan.
Setiap agama memiliki sejarah yang hampir sama, yakni seringkali diwarnai oleh aroma kekerasan dalam menegakkan nilai-nilai kebenaran, tidak terkecuali yang terjadi dalam sejarah hubungan Islam-Kristen.
Pelabelan islam sebagai agama fundamentalis, teroris, radikal, garis keras,militan, anti HAM dan sederet argument lainnya akhir-akhir ini kian semarak seiring terjadinya aksi terorisme diberbagai belahan dunia. Sebagai misal adalah pengeboman World Trade Center (WTC) di New York dan markas Pentagon di Washington DC pada 11 September 2001,tragedi Bom Bali, pengeboman di JW Marriot Hotel Jakarta, dan Lain-lain. Islam dan kekerasan sering dianggap sebagai satu kesatuan integral. Kitab suci ditangan kanan dan pedang ditangan kiri merupakan gambaran orang-orang diluar islam, terutama Barat terhadap islam.

B.     Rumusan Masalah
1)      Sejarah terjadinya Konflik Islam - Kristen
2)      Perbedaan Konsep Antar Agama
3)      Pemicu konflik islam-kristen
4)      Perbedaan Doktrin dan Sikap Mental


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sejarah Terjadinya Konflik Islam – Kristen
Pada abad-abad awal muncul dan sejarah perkembangannya, Islam mengalami berbagai macam konflik dengan kebudayaan Kristen yang saat itu mendominasi wilayah Eropa dan sekitarnya. Ada beberapa pandangan teologis yang tidak dapat diterima dalam iman Islam, dan demikian sebaliknya. Orang Kristen pun terlalu berprasangka bahwa perkembangan Islam merupakan ancaman bagi kebudayaan Kristen. Peristiwa perang salib yang terjadi antara Islam dan Kristen kiranya menjadi pelajaran barharga atas terjadinya kesalahan-kesalahan dalam relasi antara Islam dan Kristen. Faktor penyebab konflik itu sendiri bukan pertama-tama disebabkan oleh faktor keagamaan melainkan disebabkan oleh faktor-faktor ekonomi, ideologi, dan politik. Rupanya peristiwa sejarah ini masih menyimpan image tertentu bagi munculnya konflik ketika pemahaman esensial masing-masing agama Islam dan Kristen tidak terjadi. Suasana pertentangan ini masih terus terasa apabila agama Kristen dan Islam hanya dimaknai sebagai pembawa identitas kolektif saja yang mempertentangkan konsep-konsep teologis artifisial tanpa melibatkan kedewasaan iman terhadap Yang Transenden. Oleh karena itu, langkah pertama dalam rangka membuka dialog Kristen Islam adalah bersama-sama mengakui untuk melupakan kesalahan-kesalahan di masa lalu.
Dalam konteks Indonesia, konflik dan pertentangan ini dipengaruhi juga oleh situasi adanya kelompok mayoritas dan minoritas. Kelompok Muslim menjadi kelompok mayoritas pertama sedangkan Kristen merupakan kelompok mayoritas kedua, sementara kelompok lainnya tergolong minoritas. Kondisi ini memungkinkan terjadinya perbenturan kepentingan antara kelompok mayoritas maupun minoritas. Kelompok mayoritas memiliki dominasi di berbagai bidang termasuk politik, ekonomi dan kebudayaan. Perasaan menjadi kelompok mayoritas ini dapat memunculkan sikap primoridalisme sempit yang merasa diri sebagai kelompok paling dominan. Situasi ini rentan dimanfaatkan oleh kelompok elite tertentu dalam memperoleh kekuasaan di bidang ekonomi, politik, dan budaya melalui agama. Sementara dari kelompok minoritas, situasi ini dimanfaatkan untuk menjalin konsolidasi ekslusif yang justru semakin memperuncing pertentangan. Contoh kasus seperti: usaha sebagian aliran Islam yang memperjuangkan dicantumkannya syariat Islam dalam UUD atau sekelompok garis keras Kristen di Ambon maupun Poso yang mulai melakukan diskriminasi terhadap warga Muslim.
Selain itu, di Indonesia, beragama masih dipandang sebagai salah satu kebutuhan untuk memiliki identitas bahwa ia termasuk dalam golongan tertentu. Secara tidak langsung, agama menjadi salah satu kelompok yang memberi identitas warga. Hal ini tampak dalam sekelompok agama yang sedemikian radikal memperjuangkan identitas kelompoknya dalam hidup bermasyarakat seperti peristiwa DI TII dan kelompok Kristen radikal yang tidak terbuka terhadap kelompok lain. Bersama dengan kelompoknya, setiap orang merasa memiliki identitas diri yang berarti mendapatkan pengakuan diri. Jika demikian halnya, penghayatan kehidupan beragama akan menjadi sangat sempit dan artifisial.. Penghayatan agama tidak sampai menyentuh religiositas manusia dimana manusia menjadi semakin religius. Religiositas lebih melihat aspek yang ‘di dalam lubuk hati’, riak gerakan hati nurani pribadi yang terdalam untuk terlibat dalam karya keselamatan Tuhan bagi  manusia.[1]

B.     Perbedaan Konsep Antar Agama
Perbedaan konsepsi diantara agama-agama yang ada adalah sebuah realitas, yang tidak dapat dimungkiri oleh siapa pun. Perbedaan –bahkan benturan konsepsi itu- terjadi pada hampir semua aspek agama, baik di bidang konsepsi tentang Tuhan maupun konsepsi pengaturan kehidupan. Hal ini dalam prakteknya, cukup sering memicu konflik fisik antara umat berbeda agama.
 Pandangan stereotip satu kelompok terhadap kelompok lainnya, biasanya menjadi satu hal yang muncul bersamaan dengan terdengarnya genderang permusuhan, yang diikuti oleh upaya saling serang, saling membunuh, membakar rumah-rumah ibadah seteru masing-masing, dan sebagainya. Umat Islam dipandang sebagai umat yang radikal, tidak toleran, dan sangat subjektif dalam memandang kebenaran yang boleh jadi terdapat pada umat.sementara umat Kristen dipandang sebagai umat yang agresif dan ambisius.
Sebagian kalangan berpendapat bahwa perbedaan konsep keagamaanlah yang menjadi sumber konflik utama antara umat manusia. Tidak dapat dimungkiri bahwa sejumlah teks keagamaan memang mengatur masalah kekerasan dan peperangan. sebagian pengamat melihat, agama adalah sumber konflik, atau setidaknya memberikan legitimasi terhadap berbagai konflik sosial. Cara pandang terhadap agama dengan menempatkan agama sebagai sumber konflik, telah menimbulkan berbagai upaya menafsirkan kembali ajaran agama dan kemudian dicarikan titik temu pada level tertentu, dengan harapan konflik diantara umat manusia akan teredam jika faktor “kesamaan agama” itu didahulukan.

C.    Pemicu Konflik Islam-Kristen
Jika memang konsepsi agama, paling tidak agama islam, bukanlah alasan dan sebab utama yang memicu konflik antar umat islam dan kristen (serta umat beragama lain). Sejumlah kajian dan penelitian menjelaskan bahwa titik persoalan sebenarnya terletak pada faktor internal dan eksternal umat. Tidak hanya di negara-negara yang penduduknya minoritas muslim, bahkan yang  penduduknya mayoritas penduduknya  muslim seperti di indonesia ini gerakan puritanisasi dan revitalisasi islam harus “berhadapan” dengan peradaban global yang sekuler, kapitalistis, dan bersemangat hedonistis.
Politik islam negara-negara barat yang berabad-abad menekan aspirasi umat, yang kemudian disusul oleh upaya pembangunan di masing-masing negara dengan patron mengikuti barat yang pernah menjajahnya membuat peran umat ini (Muslim) semakin lama semakin berkurang. Marginalisasi peran politik, ekonomi dan kebudayaan menyebabkan kaum muslim mengalami disposisi dan disorientasi.
Untuk level di Indonesia, faktor di atas, diikuti dengan dengan upaya pemerintah memberikan “kebebasan” berbuat kepada umat kristen, sehingga walaupun secara kuantitatif jumlah mereka kecil, namun secara kualitatif, peran politik, ekonomi, dan menentukan arah nilai-nilai moral, bahkan peradaban masa depan bangsa ini yang diberikan kepada mereka relatif besar. Secara kasat mata, pengaruh mereka dapat dilihat pada berkembangnya cara hidup kebarat-baratan di tengah umat.
Secara internal, kaum muslim masih berkuatat dengan kemiskinan, keterbelakangan dan ketertinggalan. Kondisi ini diperparah oleh adanya penyakit “Islamofobia”(takut kepada islam) yang ironisnya, tidak hanya pada umat kristen, tapi juga menjangkiti sebagian cendekiawan muslim. Kelompok ini yang nota bene adalah penganut pluralisme agama, mudah tersengat dan curiga pada gerakan-gerakan “Islam Fundamentalis”, yang dinilai ekstrim dan militan. Kelompok yang terakhir ini, yang senantiasa termaginalkan, didorong oleh semangat membebaskan umat dari matrealisme yang sesat, yang mendorong pada suatu kesadaran hakiki, bahwa agama merupakan suatu kebutuhan batiniah sekaligus kebutuhan intelektual manusia. Konflik antar umat Islam-Kristen sendiri, kebanyakan adalah kompleksitas persoalan-persoalan sosial, ekonomi, politik, yang oleh pihak-pihak yang bertanggung jawab dilegitimasi ‘perbedaan konsepsi keagamaan’. [2]

D.    Akar Penyebab Konflik Islam – Kristen
Leopold Von Wiese dan Howard Becker sebagaimana dikutip Soerjono Soekanto menyebutkan bahwa ada empat akar penyebab konflik.[3] Pertama,perbedaan antarindividu atau kelompok. Perbedaan ini menyangkut perbedaan pendirian dan perasaan. Kedua, perbedaan kebudayaan. Baik individu maupun kelompok, secara sadar atau tidak, sedikit banyak dipengaruhi oleh pola pemikiran dan pola pendirian dari budaya kelompoknya. Ketiga, perbedaan kepentingan. Perbedaan kepentingan antarindividu maupun kelompok seringkali menjadi pemicu konflik. Wujud kepentingan ini bermacam-macam, misalnya kepentingan politik, ekonomi, dan sebagainya. Keempat , perubahan sosial. Perubahan yang berlangsung dengan cepat akan mengubah nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Hal itu menyebabkan munculnya kelompok-kelompok yang berbeda pendirian.[4]

E.     Perbedaan Sikap Mental dan Doktrin
Konflik sebagai kategori sosiologis bertolak belakang dengan pengertian perdamaian dan kerukunan. Dalam konteks ini, kontruksi sebagai fakta sosial melibatkan minimal dua pihak (golongan) yang berbeda agama, bukannya sebagai  konstruksi kayal (konsepsional) melainkan sebagai fakta sejarah yang masih sering terjadi zaman sekarang juga. Misalnya bentrokan antara umat kristen gereja purba dengan umat yahudi, benturan umat kristen dengen penganut agama romawi (agama kekaisaran) dalam abad pertama sampai dengan ketiga.
Dalam penyorotan sekarang ini mengkhususkan pada satu sumber bentrokan saja, yaitu perbedaan iman. Dan berkaitan dengan iman juga perbedaan mental umat beragama.
Bahwa perbedaan iman (dan doktrin) menimbulkan bentrokan tidak pelu kita persoalkan, tapi kita menerimanya sebagai fakta dan mencoba untuk memahami, dan mengambil hikmahnya. Semua pihak umat beragama yang sedang terlibat dalam bentrokan masing-masing menyadari bahwa justru perbedaan doktrin itulah yang menjadi penyebab utama benturan itu. Entah sadar atau tidak setiap pihak mempunyai gambaran tentang ajaran agamanya, membandingkan dengan ajaran agama lawan, memberikan penilaian atas agama sendiri dan agama lawan nya.
Dalam konflik agama yang menimpa katolik karena perbedaan iman dengan agama lain, sikap umat katolik pada umumnya bersifat defensif bukan ofensif. Mereka berpegang pada prinsip bahwa bukan yang menyerang  itu menang, tetapi yang benar mesti menang. Dalam soal konflik iman umat islam tampak berada pada posisi lebih untung dipandang dari segi hukum agama. Karena agama islam memperbolehkan “jihad” (perang suci) apabila agama itu dirasa oleh umatnya dibahayakan oleh pihak lain. Jadi dapat dikatakan sifat “jihad “ itu ofensif (menyerang).
Seperti sudah dikatakan dimuka umat setiap agama mempunyai keyakinan bahwa agamanya memiliki ajaran yang paling benar. Maka mereka menjadi sombong , merasa lebih tinggi daripada semua pemeluk agama yang lain. Dalam asap kesombongannya mereka merasa tahu lebih tepat mengenai rahasia dunia akhirat dan memastikan diri akan masuk surga, sedangkan penganut agama lain akan masuk neraka. Kesombongan kayal itu melahirkan sikap memandang rendah (menghina) pemeluk agama lain. Mereka memandang segala sesuatu yang ada pada golongan agama lain serba bodoh danserba salah, baik ajarannya, ibadatnya, maupun tingkah lakunya dalam masyarakat, bahkan sampai pada hal-hal yang sepele seperti pakaian dan roman muka, cara berpikir dan berbicara. [5]



BAB III
PENUTUP


          Kesimpulan

Dari uraian penjelasan makalah ini, penulis dapat menyimpulkan bahwa konflik antar umat beragama, dalam hal ini islam-kristen, dalam berbagai kasus, tidaklah disebabkan karena perbedaan konsepsi diantara dua agama besar ini. Itu lebih merupakan asumsi yang tendesius, yang sengaja atau tidak, berupaya ‘mengaburkan’ peran agama dalam membentuk peradaban baru yang lebih progressif. Dia lebih menonjolkan ‘wajah muram’ agama-agama di tengah umatnya.sehingga agama tidak ubahnya seperti tembok yang memisahkan manusia dengan manusia dari kepercayaan yang berbeda. Sekaligus menumbuh suburkan sikap kebencian dan permusuhan diantara pemeluk agama.
Implikasi yang muncul kemudian adalah lahirnyaa dua kutub pemikiran. Yang pertama bersikap ‘antiagama’ sementara yang terakhir mencoba ‘menyamakan’ agama-agama, dengan berlindung di balik ‘topeng’ pluralisme agama. Gagasan yang terakhir ini, jika ditinjau dari keseluruhan aspek islam terhadap kristen jelas suatu gagasan yang tidak mungkin, karena ‘memang’ kedua agama ini berbeda.
Meskipun demikian, konflik antara umat Islam dan Kristen jika dianalisa lebih jauh, tidak seluruhnya disebabkan karena perbedaan konsepsi diantara kedua pemeluknya. Faktor-faktor politik, sosial, ekonomi dan sebagainya sering lepas dari pengamatan. Sehingga agama dijadikan alat legitimasi terhadap sikap-sikap agresif dan radikal kelompok satu dengan lainnya.

Daftar Pustaka


Hendropuspito.D,1985, Sosiolog agama, Yogyakarta : KANISIUS
Ahmad asroni’, Meneropong Hubungan Konflik Islam – Kristen : Sebuah Telaah Sejarah, Vol.5 No.1
Soejono Soekanto,1995, Sosiologi Suatu Pengantar,Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
Wahib, Ahmad, 1981,Pergolakan Pemikiran Islam, Jakarta: LP3ES



[1] Wahib, Ahmad, Pergolakan Pemikiran Islam, Jakarta: LP3ES, 1981
[2] http://fush.uin-suska.ac.id/attachments/074_KONFLIK%20ISLAM%20_Tarpin,%20M.Ag
[3] Soejono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar,(Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,1995) hlm 107-108
[4] Ahmad asroni’, Meneropong Hubungan Konflik Islam – Kristen : Sebuah Telaah Sejarah, Vol.5 No.1 hlm 78
[5] Hendropuspito.D, Sosiolog agama,( KANISIUS : Yogyakarta,1985) hlm 151-155