BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dinamika sejarah
manusia dalam beragama kerapkali membawa nuansa kekerasan dan peperangan.
Berbicara mengenai agama ibarat berbicara tentang suatu paradoks. Di satu sisi,
agama diyakini sebagai jalan menuju keselamatan, cinta, dan perdamaian. Di sisi
lain, sejarah membuktikan agama justru menjadi sumber, penyebab, dan
justifikasi terhadap tindakan kekerasan dan kehancuran umat manusia. Karena
agama, orang dapat saling mencinta. Karena agama pula, orang dapat membunuh dan
menghancurkan.
Setiap agama
memiliki sejarah yang hampir sama, yakni seringkali diwarnai oleh aroma
kekerasan dalam menegakkan nilai-nilai kebenaran, tidak terkecuali yang terjadi
dalam sejarah hubungan Islam-Kristen.
Pelabelan islam
sebagai agama fundamentalis, teroris, radikal, garis keras,militan, anti HAM
dan sederet argument lainnya akhir-akhir ini kian semarak seiring terjadinya
aksi terorisme diberbagai belahan dunia. Sebagai misal adalah pengeboman World
Trade Center (WTC) di New York dan markas Pentagon di Washington DC pada 11
September 2001,tragedi Bom Bali, pengeboman di JW Marriot Hotel Jakarta, dan
Lain-lain. Islam dan kekerasan sering dianggap sebagai satu kesatuan integral.
Kitab suci ditangan kanan dan pedang ditangan kiri merupakan gambaran
orang-orang diluar islam, terutama Barat terhadap islam.
B.
Rumusan Masalah
1)
Sejarah
terjadinya Konflik Islam - Kristen
2)
Perbedaan
Konsep Antar Agama
3)
Pemicu
konflik islam-kristen
4)
Perbedaan
Doktrin dan Sikap Mental
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Terjadinya Konflik Islam – Kristen
Pada abad-abad
awal muncul dan sejarah perkembangannya, Islam mengalami berbagai macam konflik
dengan kebudayaan Kristen yang saat itu mendominasi wilayah Eropa dan
sekitarnya. Ada beberapa pandangan teologis yang tidak dapat diterima dalam
iman Islam, dan demikian sebaliknya. Orang Kristen pun terlalu berprasangka
bahwa perkembangan Islam merupakan ancaman bagi kebudayaan Kristen. Peristiwa
perang salib yang terjadi antara Islam dan Kristen kiranya menjadi pelajaran
barharga atas terjadinya kesalahan-kesalahan dalam relasi antara Islam dan
Kristen. Faktor penyebab konflik itu sendiri bukan pertama-tama disebabkan oleh
faktor keagamaan melainkan disebabkan oleh faktor-faktor ekonomi, ideologi, dan
politik. Rupanya peristiwa sejarah ini masih menyimpan image tertentu bagi
munculnya konflik ketika pemahaman esensial masing-masing agama Islam dan
Kristen tidak terjadi. Suasana pertentangan ini masih terus terasa apabila
agama Kristen dan Islam hanya dimaknai sebagai pembawa identitas kolektif saja
yang mempertentangkan konsep-konsep teologis artifisial tanpa melibatkan
kedewasaan iman terhadap Yang Transenden. Oleh karena itu, langkah pertama
dalam rangka membuka dialog Kristen Islam adalah bersama-sama mengakui untuk melupakan
kesalahan-kesalahan di masa lalu.
Dalam konteks
Indonesia, konflik dan pertentangan ini dipengaruhi juga oleh situasi adanya
kelompok mayoritas dan minoritas. Kelompok Muslim menjadi kelompok mayoritas
pertama sedangkan Kristen merupakan kelompok mayoritas kedua, sementara
kelompok lainnya tergolong minoritas. Kondisi ini memungkinkan terjadinya
perbenturan kepentingan antara kelompok mayoritas maupun minoritas. Kelompok
mayoritas memiliki dominasi di berbagai bidang termasuk politik, ekonomi dan kebudayaan.
Perasaan menjadi kelompok mayoritas ini dapat memunculkan sikap primoridalisme
sempit yang merasa diri sebagai kelompok paling dominan. Situasi ini rentan
dimanfaatkan oleh kelompok elite tertentu dalam memperoleh kekuasaan di bidang
ekonomi, politik, dan budaya melalui agama. Sementara dari kelompok minoritas,
situasi ini dimanfaatkan untuk menjalin konsolidasi ekslusif yang justru
semakin memperuncing pertentangan. Contoh kasus seperti: usaha sebagian aliran
Islam yang memperjuangkan dicantumkannya syariat Islam dalam UUD atau
sekelompok garis keras Kristen di Ambon maupun Poso yang mulai melakukan
diskriminasi terhadap warga Muslim.
Selain itu, di
Indonesia, beragama masih dipandang sebagai salah satu kebutuhan untuk memiliki
identitas bahwa ia termasuk dalam golongan tertentu. Secara tidak langsung,
agama menjadi salah satu kelompok yang memberi identitas warga. Hal ini tampak
dalam sekelompok agama yang sedemikian radikal memperjuangkan identitas
kelompoknya dalam hidup bermasyarakat seperti peristiwa DI TII dan kelompok
Kristen radikal yang tidak terbuka terhadap kelompok lain. Bersama dengan
kelompoknya, setiap orang merasa memiliki identitas diri yang berarti
mendapatkan pengakuan diri. Jika demikian halnya, penghayatan kehidupan
beragama akan menjadi sangat sempit dan artifisial.. Penghayatan agama tidak
sampai menyentuh religiositas manusia dimana manusia menjadi semakin religius.
Religiositas lebih melihat aspek yang ‘di dalam lubuk hati’, riak gerakan hati
nurani pribadi yang terdalam untuk terlibat dalam karya keselamatan Tuhan
bagi manusia.[1]
B.
Perbedaan Konsep Antar Agama
Perbedaan konsepsi diantara
agama-agama yang ada adalah sebuah realitas, yang tidak dapat dimungkiri oleh
siapa pun. Perbedaan –bahkan benturan konsepsi itu- terjadi pada hampir semua
aspek agama, baik di bidang konsepsi tentang Tuhan maupun konsepsi pengaturan
kehidupan. Hal ini dalam prakteknya, cukup sering memicu konflik fisik antara
umat berbeda agama.
Pandangan stereotip satu
kelompok terhadap kelompok lainnya, biasanya menjadi satu hal yang muncul
bersamaan dengan terdengarnya genderang permusuhan, yang diikuti oleh upaya
saling serang, saling membunuh, membakar rumah-rumah ibadah seteru
masing-masing, dan sebagainya. Umat Islam dipandang sebagai umat yang radikal,
tidak toleran, dan sangat subjektif dalam memandang kebenaran yang boleh jadi
terdapat pada umat.sementara umat Kristen dipandang sebagai umat yang agresif
dan ambisius.
Sebagian kalangan berpendapat bahwa perbedaan konsep keagamaanlah
yang menjadi sumber konflik utama antara umat manusia. Tidak dapat dimungkiri
bahwa sejumlah teks keagamaan memang mengatur masalah kekerasan dan peperangan.
sebagian pengamat melihat, agama adalah sumber konflik, atau setidaknya
memberikan legitimasi terhadap berbagai konflik sosial. Cara pandang terhadap
agama dengan menempatkan agama sebagai sumber konflik, telah menimbulkan
berbagai upaya menafsirkan kembali ajaran agama dan kemudian dicarikan titik
temu pada level tertentu, dengan harapan konflik diantara umat manusia akan
teredam jika faktor “kesamaan agama” itu didahulukan.
C.
Pemicu Konflik Islam-Kristen
Jika memang
konsepsi agama, paling tidak agama islam, bukanlah alasan dan sebab utama yang
memicu konflik antar umat islam dan kristen (serta umat beragama lain). Sejumlah
kajian dan penelitian menjelaskan bahwa titik persoalan sebenarnya terletak
pada faktor internal dan eksternal umat. Tidak hanya di negara-negara yang
penduduknya minoritas muslim, bahkan yang
penduduknya mayoritas penduduknya muslim seperti di indonesia ini gerakan
puritanisasi dan revitalisasi islam harus “berhadapan” dengan peradaban global
yang sekuler, kapitalistis, dan bersemangat hedonistis.
Politik islam negara-negara
barat yang berabad-abad menekan aspirasi umat, yang kemudian disusul oleh upaya
pembangunan di masing-masing negara dengan patron mengikuti barat yang pernah
menjajahnya membuat peran umat ini (Muslim) semakin lama semakin berkurang.
Marginalisasi peran politik, ekonomi dan kebudayaan menyebabkan kaum muslim
mengalami disposisi dan disorientasi.
Untuk level di
Indonesia, faktor di atas, diikuti dengan dengan upaya pemerintah memberikan
“kebebasan” berbuat kepada umat kristen, sehingga walaupun secara kuantitatif
jumlah mereka kecil, namun secara kualitatif, peran politik, ekonomi, dan
menentukan arah nilai-nilai moral, bahkan peradaban masa depan bangsa ini yang
diberikan kepada mereka relatif besar. Secara kasat mata, pengaruh mereka dapat
dilihat pada berkembangnya cara hidup kebarat-baratan di tengah umat.
Secara
internal, kaum muslim masih berkuatat dengan kemiskinan, keterbelakangan dan
ketertinggalan. Kondisi ini diperparah oleh adanya penyakit “Islamofobia”(takut
kepada islam) yang ironisnya, tidak hanya pada umat kristen, tapi juga
menjangkiti sebagian cendekiawan muslim. Kelompok ini yang nota bene adalah
penganut pluralisme agama, mudah tersengat dan curiga pada gerakan-gerakan
“Islam Fundamentalis”, yang dinilai ekstrim dan militan. Kelompok yang terakhir
ini, yang senantiasa termaginalkan, didorong oleh semangat membebaskan umat
dari matrealisme yang sesat, yang mendorong pada suatu kesadaran hakiki, bahwa
agama merupakan suatu kebutuhan batiniah sekaligus kebutuhan intelektual
manusia. Konflik antar umat Islam-Kristen sendiri, kebanyakan adalah
kompleksitas persoalan-persoalan sosial, ekonomi, politik, yang oleh
pihak-pihak yang bertanggung jawab dilegitimasi ‘perbedaan konsepsi keagamaan’.
[2]
D.
Akar Penyebab Konflik Islam – Kristen
Leopold Von
Wiese dan Howard Becker sebagaimana dikutip Soerjono Soekanto menyebutkan bahwa
ada empat akar penyebab konflik.[3] Pertama,perbedaan
antarindividu atau kelompok. Perbedaan ini menyangkut perbedaan pendirian dan
perasaan. Kedua, perbedaan kebudayaan. Baik individu maupun kelompok,
secara sadar atau tidak, sedikit banyak dipengaruhi oleh pola pemikiran dan
pola pendirian dari budaya kelompoknya. Ketiga, perbedaan kepentingan.
Perbedaan kepentingan antarindividu maupun kelompok seringkali menjadi pemicu
konflik. Wujud kepentingan ini bermacam-macam, misalnya kepentingan politik,
ekonomi, dan sebagainya. Keempat , perubahan sosial. Perubahan yang
berlangsung dengan cepat akan mengubah nilai-nilai yang ada dalam masyarakat.
Hal itu menyebabkan munculnya kelompok-kelompok yang berbeda pendirian.[4]
E.
Perbedaan Sikap Mental dan Doktrin
Konflik sebagai
kategori sosiologis bertolak belakang dengan pengertian perdamaian dan
kerukunan. Dalam konteks ini, kontruksi sebagai fakta sosial melibatkan minimal
dua pihak (golongan) yang berbeda agama, bukannya sebagai konstruksi kayal (konsepsional) melainkan
sebagai fakta sejarah yang masih sering terjadi zaman sekarang juga. Misalnya
bentrokan antara umat kristen gereja purba dengan umat yahudi, benturan umat
kristen dengen penganut agama romawi (agama kekaisaran) dalam abad pertama
sampai dengan ketiga.
Dalam
penyorotan sekarang ini mengkhususkan pada satu sumber bentrokan saja, yaitu perbedaan
iman. Dan berkaitan dengan iman juga perbedaan mental umat beragama.
Bahwa perbedaan
iman (dan doktrin) menimbulkan bentrokan tidak pelu kita persoalkan, tapi kita
menerimanya sebagai fakta dan mencoba untuk memahami, dan mengambil hikmahnya.
Semua pihak umat beragama yang sedang terlibat dalam bentrokan masing-masing
menyadari bahwa justru perbedaan doktrin itulah yang menjadi penyebab utama
benturan itu. Entah sadar atau tidak setiap pihak mempunyai gambaran tentang
ajaran agamanya, membandingkan dengan ajaran agama lawan, memberikan penilaian
atas agama sendiri dan agama lawan nya.
Dalam konflik
agama yang menimpa katolik karena perbedaan iman dengan agama lain, sikap umat
katolik pada umumnya bersifat defensif bukan ofensif. Mereka berpegang pada
prinsip bahwa bukan yang menyerang itu
menang, tetapi yang benar mesti menang. Dalam soal konflik iman umat islam
tampak berada pada posisi lebih untung dipandang dari segi hukum agama. Karena
agama islam memperbolehkan “jihad” (perang suci) apabila agama itu dirasa oleh
umatnya dibahayakan oleh pihak lain. Jadi dapat dikatakan sifat “jihad “ itu
ofensif (menyerang).
Seperti sudah
dikatakan dimuka umat setiap agama mempunyai keyakinan bahwa agamanya memiliki
ajaran yang paling benar. Maka mereka menjadi sombong , merasa lebih tinggi
daripada semua pemeluk agama yang lain. Dalam asap kesombongannya mereka merasa
tahu lebih tepat mengenai rahasia dunia akhirat dan memastikan diri akan masuk
surga, sedangkan penganut agama lain akan masuk neraka. Kesombongan kayal itu
melahirkan sikap memandang rendah (menghina) pemeluk agama lain. Mereka
memandang segala sesuatu yang ada pada golongan agama lain serba bodoh danserba
salah, baik ajarannya, ibadatnya, maupun tingkah lakunya dalam masyarakat,
bahkan sampai pada hal-hal yang sepele seperti pakaian dan roman muka, cara
berpikir dan berbicara. [5]
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian penjelasan makalah ini, penulis dapat menyimpulkan
bahwa konflik antar umat beragama, dalam hal ini islam-kristen, dalam berbagai
kasus, tidaklah disebabkan karena perbedaan konsepsi diantara dua agama besar
ini. Itu lebih merupakan asumsi yang tendesius, yang sengaja atau tidak,
berupaya ‘mengaburkan’ peran agama dalam membentuk peradaban baru yang lebih
progressif. Dia lebih menonjolkan ‘wajah muram’ agama-agama di tengah
umatnya.sehingga agama tidak ubahnya seperti tembok yang memisahkan manusia
dengan manusia dari kepercayaan yang berbeda. Sekaligus menumbuh suburkan sikap
kebencian dan permusuhan diantara pemeluk agama.
Implikasi yang muncul kemudian adalah lahirnyaa dua kutub
pemikiran. Yang pertama bersikap ‘antiagama’ sementara yang terakhir mencoba
‘menyamakan’ agama-agama, dengan berlindung di balik ‘topeng’ pluralisme agama.
Gagasan yang terakhir ini, jika ditinjau dari keseluruhan aspek islam terhadap
kristen jelas suatu gagasan yang tidak mungkin, karena ‘memang’ kedua agama ini
berbeda.
Meskipun demikian, konflik antara umat Islam dan Kristen jika
dianalisa lebih jauh, tidak seluruhnya disebabkan karena perbedaan konsepsi
diantara kedua pemeluknya. Faktor-faktor politik, sosial, ekonomi dan
sebagainya sering lepas dari pengamatan. Sehingga agama dijadikan alat
legitimasi terhadap sikap-sikap agresif dan radikal kelompok satu dengan
lainnya.
Daftar Pustaka
Hendropuspito.D,1985,
Sosiolog agama, Yogyakarta : KANISIUS
Ahmad asroni’, Meneropong Hubungan Konflik Islam – Kristen :
Sebuah Telaah Sejarah, Vol.5 No.1
Soejono Soekanto,1995, Sosiologi Suatu Pengantar,Jakarta :
PT Raja Grafindo Persada
Wahib, Ahmad, 1981,Pergolakan
Pemikiran Islam, Jakarta: LP3ES
[1] Wahib, Ahmad, Pergolakan Pemikiran Islam,
Jakarta: LP3ES, 1981
[2] http://fush.uin-suska.ac.id/attachments/074_KONFLIK%20ISLAM%20_Tarpin,%20M.Ag
[3] Soejono
Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar,(Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,1995)
hlm 107-108
[4] Ahmad asroni’,
Meneropong Hubungan Konflik Islam – Kristen : Sebuah Telaah Sejarah, Vol.5
No.1 hlm 78
[5] Hendropuspito.D,
Sosiolog agama,( KANISIUS : Yogyakarta,1985) hlm 151-155