Senin, 27 Februari 2012

Harapan

AKU bukanlah Siti Khadijah, yang begitu sempurna dalam menjaga dirinya.

Aku Pun bukanlah Hajar ataupun Mariam, yang begitu setia dalam sengsara.

TETAPI diriku hanya seorang wanita akhir zaman, yang bercita-cita menjadi wanita sholehah.

Bimbinglah Aku,

Ajarkanlah Aku
Fahamkan Aku Supaya Aku Tahu,

Redhakanlah Hatimu Menerima Segala Kekuranganku

Karena Aku Hanya Wanita Biasa'...

...........

Ingin ku MENDAKATImu, ku takut diri ini tidak bisa MENGENDALIKAN.

Ingin ku PEGANG tanganmu ku takut tangan ini malah NAKAL.

Ingin ku MEMANDANG dirimu ku takut mata ini malah akan BERTAMABAH PARAH

Jadi biarkan aku MENJAUH darimu agar KESUCIANKU & DiriMU tetap terjaga.

hingga Engkau MENGKHITBAH DIRIKU....


:)

Ayah

Arti ayah dkhidupanmu..

Bagi seorang yg sdh dwasa,
yg sedang jauh dr orangtua,
akn sering mrasa kangen dgn ibunya.

bgmn dgn ayah ?

Mungkin krn ibu lbh sering nelpon utk mnanyakan keadaan mu

Tp tahukah kmu,
jika trnyt ayah lah yg mngingatkan ibu utk mneleponmu ?

Saat kecil,
Ibu lah yg lebih sring mndongeng.
Tp tahukah kmu bhw sepulang ayah bekrja dgn wajah lelah beliau slalu menanyakan pd ibu ,apa yg kmu lakukan seharian.

Saat kmu sakit batuk/pilek,
ayah kadang mmbentak
"sudah dibilang! jgn minum es!".
Tp tahukah kmu bhwa ayah khawatir ?

Ktika kmu remaja,
kmu mnuntut utk dpt izin kluar malam.
ayah dgn tegas brkata "tidak boleh !"
Sadarkah kmu bhw ayah hny ingin menjagamu ?

Krn bagi ayah, kmu adlh sesuatu yg sngat berharga.

Saat kmu bisa lebih dipercaya,
Ayah pun melonggarkan praturannya.
Kmu akan mmaksa utk melanggar jam malamnya.

Maka yg dilakukan ayah adlh menunggu di ruang tamu dgn sngat khawatir.

Ketika kmu dewasa,dan hrs kuliah di kota lain.
Ayah hrus mlepasmu.
Tahukah kmu bhw badan ayah terasa kaku utk memelukmu?

Dan ayah sngat ingin menangis.
Di saat kmu memerlukan ini-itu, utk keperluan kuliahmu, ayah hnya mengernyitkan dahi.
Tp tanpa menolak,
beliau memenuhinya.

Saat kmu diwisuda.
ayah adlh org pertama berdiri dan brtepuk tangan 'tukmu.
ayah akn trsenyum dan bangga

Sampai ketika tman psanganmu dtang
utk mminta izin mengambilmu dari ayah
ayah akn sngat berhati-hati dlm mmberi izin

Dan akhirnya..
Saat ayah melihatmu duduk dipelaminan brsama seorang yg dianggapnya pantas,
Ayahpun trsenyum bahagia

Apa km tahu,
bhw ayah sempat pergi ke blakang dan menangis?

ayah menangis krn ayah sangat bahagia.

Semoga Putra/i kecilku yg manis berbahagia bersama pasangannya"

Stlh itu ayah hnya bisa
menunggu kedatanganmu brsm cucu-cucunya yg sesekali dtg utk menjenguk

Dgn rambut yg memutih dan badan yg tak lagi kuat utk menjagamu

♥ ayah

Agama Dan Konflik

. Di satu sisi agama dipandang oleh pemeluknya sebagai sumber moral dan nilai, sementara di sisi lain dianggap sebagai sumber konflik. Meminjam istilah Afif Muhammad, “agama acapkali menampakkan diri sebagai sesuatu yang berwajah ganda”. Hal itu seperti yang disinyalir oleh Johan Efendi [1], yang menyatakan bahwa agama pada suatu waktu memproklamirkan perdamaian, jalan menuju keselamatan, persatuan, dan persaudaraan, namun pada waktu yang lain menampakkan dirinya sebagai sesuatu yang dianggap garang dan menyebar konflik, bahkan tak jarang seperti dicatat dalam sejarah, menimbulkan peperangan.

A.    Agama dan Indikasi Konflik
Pada dasarnya, apabila merujuk kepada Al Quran, banyak indikasi yang menjelaskan adanya faktor konflik yang ada di masyarakat. Secara tegas, Al-Quran menyebutkan bahwa faktor konflik itu sesunnguhnya berawal dari manusia. Misalnya dalam Surat Yusuf ayat 5 dijelaskan tentang adanya kekuatan pada diri manusia yang selalu berusaha menarik dirinya menyimpang  dari nilai-nilai dan norma Ilahi. Atau, secara lebih tegas disebutkan bahwa kerusakan bisa berbentuk kerusuhan, demonstrasi dan lain-lain yang diakibatkan oleh tangan manusia. Penganut suatu agama tentu saja manusia, dan manusia adalah bagian dari masyarakat. Penganut agama adalah orang yang meyakini dan mempercayai suatu ajaran agama. Keyakinan itu akan melahirkan bentuk perbuatan baik atau buruk, yang dalam term islam disebut “aaml perbuatan”. Dari mana mereka meyakini bahwa suatu perbuatan itu baik dan buruk. Keyakinan ini dimiliki dari rangkaian proses memahami dan mempelajari ajaran agama itu. Oleh karana itu, setiap penganut akan berbeda dan memiliki kadar interpretasi yang beragam dalam memahami ajaran agamanya, sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Akibat perbedaan pemahaman itu saja, cikal bakal konflik tidak bisa dihindarkan. Dengan demikian, pada sisi ini agama memiliki potensi yang dapat melahirkan berbagai bentuk konflik. Paling tidak konflik seperti ini adalh konflik intra-agama atau disebut juga konflik antarmazhab, yang diakibatkan oleh perbedaan pemahaman terhadap ajaran agama.
Paling tidak ada dua pendekatan untuk sampai pada pemahaman agama. Pertama, agama dipahami sebagai suatu dari doktrin dan ajaran dan kedua, agama dipahami sebagai aktualisasi dari doktrin tersebut yang terdapat dalam sejarah. Dalam ajaran atau doktrin agama, terdapat seruan untuk menuju keselamatan yang dibarengi mengajak orang lain menuju keselamatan tersebut. Dan dalam pengalaman suatu ajaran agama oleh pemeluknya, tampak kesenjangan jika dibandingkan dengan doktrin agamanya.
Oleh karena itu, dalam setiap agama, ada istilah dakwah, meskipun dalam bentuk yang berbeda. Dakwah merupakan upaya mensosialisasikan(mengajak,menyeru) ajaran agama. Bahkan, tidak jarang masing-masing agama menjastifikasi bahwa agamanya lah yang paling benar. Apabila kepentingan  ini lebih di kedepankan, masing-masing agamaakan berhadapan satu sama lain dalam menegakkan kebenarannya. Ini yang memunculkan adanya sentimen agama. Maka tidak mustahil benturan pun sulit dihindarkan. Dan inilah yang melahirkan konflik antaragama bukan intra-agama.
Pada tataran ini tampaknya agama tidak hanya menjadi faktor pemersatu (integrative factor), tetapi juga faktor disintegratif( disintegratife factor). Faktor disintegratif timbul karena agama itu sendiri memiliki potensi yang melahirkan intoleransi(konflik), baik karena faktor internal  ajaran agama itu sendiri maupun karena faktor eksternalnya yang sengaja dilakukan oleh pihak-pihak tertentu yang mengatasnamakan agama. Apalagi, tampaknya dalam pembendaharaan perpolotikan kita, ada kecenderungan agama disejajarkan dengan persoalan kesukuan dan rasisme(rasialisme). Dua hal ini sebetulnya mengandung klerawanan dan kepekaan yang sangat tinggi, yang kemudian mengundang benih-benih timbulnya sektarianisme.
Dalam hal ini, kiranya perlu dipertimbangkan pandangan Nurcholis Madjid[2], yang menyarankan agar agama tidak di sejajarkan dengan suku dan ras. Dan pada sisi ini dirasakan perlunya memandang istilah Toleransi Beragama. Sebab, setiap agama mengajarkan kasih sayang dan toleransi. Sebenarnya, cara pemahaman dan pengalaman para penganutya yang seringkali membuat ajaran tersebut menjadi kabur.

B.   Perbedaan Doktrin dan Sikap Mental
Konflik sebagai kategori sosiologis yang bertolak dengan pengertian perdamaian dan kerukunan. Dalam konteks ini konflik sebagai fakta sosial melibatkan minimal dua pihak (golongan) yang berbeda agama, bukannya sebagai konstruksi melainkan sebagai sejarah yang masih terjadi pada zaman sekarang ini.
Masyarakat kita yang terkenal sebagai masyarakat beragama memang tidak dengan, sendirinya menjadi masyarakat yang ideal, karena tidak ditempati oleh penghuni yang ideal yaitu mereka yang belum sanggup mengekang hawa nafsunya, belum saling mencintai sebagaimana dituntut oleh agamanya. Yang sering ada justru sikap-sikap mental yang negatif itu, yang sering terjadi justru ketegangan, ketakutan dan kecemasan.

C.   Perbedaan Suku dan Ras pemeluk Agama
Bahwa perbedaan suku dan ras berkat adanya agama bukan menjadi penghalang untuk menciptakan hidup persaudaraan yang rukun. Dan hal itu tidak perlu dibicarakan lagi, namun apakah perbedaan suku dan ras ditambah dengan perbedaan agama menjadi penyebab lebih kuat untuk menimbulkan perpecahan antar umat manusia. Bahwa faktor ras itu sendiri terlepas dari agama sudah membuktikan dengan bertambahnya permusuhan dan pencarian jalan keluarnya. Asumsi yang terkenal itu dan telah mengundang banyak sanggahan yang gigih ialah Arthur de Gobineau, dalam karangannya yang menjadi klasik, “Essai sur I’inegalite de races humaines”. Asumsi itu pada intinya menyatakan bahwa ras kulit putih merupakan ras tertinggi bangsa manusia, dan bahwa ras itu dipanggil untuk membawakan obor kemajuan di dunia ini, dan bahwa ras yang bukan kulit putih ditakdirkan untuk tidak dapat menghasilkan sesuatu yang berarti dalam bidang kemajuan.
Namun kenyataan sejarah tidak dapat di bantah bahwa ras kulit putih sejak awal tarikh Masehi memeluk agama Kristen yang nantinya oleh Max Weber dinyatakan sebagai kekuatan yang mendatangkan kemajuan dalam berbagai sektor peradaban, khususnya kapitalisme dan teknologi.

D.    Perbedaan tingkat kebudayaan
Dalam kenyataanya bahwa tingkat kemajuan budaya berbagia bangsa ini tidak sama. Demi mudahnya pendekatan kita bedakan saja menjadi dua tingkat kebudayaan, yaitu kebudayaan tinggi dan kebudayaan rendah. Tolak ukur untuk menilai dan membedakan kebudayaan dalam dua kategori itu berupa asumsi yang sudah umum, pertama akumulasi ilmu pengetahuan positif dan teknologis di stu pihak pembangunan fisik di lain pihak dan kedua yaitu bahwa agama itu merupakan motor penting dalam usaha manusia menciptakan tangga-tangga kemajuan. Dari asumsi tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa adanya ketegangan antara bangsa yang berbudaya tinggi dan bangsa yang berbudaya masih rendah yang dialami dunia dari masa lampau hingga sekarang ini tidak dapat dilepaskan dari pertanggungjawaban agama-agama yang di anut oleh bangsa-bangsa yang bersangkutan. Secara moral agama-agama tidak bisa cuci tangan atas terjadinya jurang diskriminatif antara bangsa maju dan bangsa yang terbelakang. Keterlibatan agama-agama dalam hal tanggung jawab atas masalah tersebut tidak bisa terelakkan, bila kita berpegangan pada asumsi bahwa ilusi keunggulan ras(kulit putih) sebagai faktor penyebab kemajuan kebudayaan tidak dapat kita terima. Demikianlah agama merupakan motor dan promotorpenting dalam bagi pembudayaan manusia khususnya dan alam semesta umumnya.
Dalam rangka pemikiran di atas dapat di katakan bahwa masyarakat beserta kebudayaan merupakan sebuah usaha manusia untuk membangun dunianya. Dan agama menduduki tempat tersendiri dalam usaha itu. Kekhususan fungsi dalam hal ini ialahbbahwa agama menangkap dunia ini dalam pengertian-pengertian yang serba suci. Tepatnya yang harus dikatakan, bukan agama itu sendirilah yang membangun dunia, tetapi manusia yang berinspirasi pada agama yang dipeluknya.
Kalau asumsi bahwa agama memainkan peranan dominan dalam menciptakan masyarakat budaya dan melestarikan alam semesta itu benar, maka adalah suatu kewajiban moral dari bangsa-bangsa yang agamanya kurang berfungsi (disfungsional) untuk meninjau kembali agamanya. Masalah yang amat kompleks itu tidak dapat diatasi dalam waktu dekat, apalagi hanya oleh studi sosiologis saja, karena ini berhadapan dengan masalah teologis.

E.    Agama dan Sekularisasi
Sekularisasi kebudayaan meliputi penyusutan hal yang sakral dan peningkatan rasionalitas fikiran manusia. Dua-duanya merupakan perubahan brntuk pemikiran dan transformasi masyarakat, karena menyangkut perubahan dalam cara berfikir dan kegiatan utama manusia, maka ia juga melahirkan perubahan dalam struktur sosial masyarakat. Masyarakat perkotaan yang sibuk dengan kegiatan keduniawian ini berkembang sebagai dasar struktural perubahan-perubahan bentuk dan cara berfikir. Tampilnya kebudayaan sekuler pada dasarnya merupakan perkembangan anti agama atau paling tidak “kontra-agama”. Tetapi pernyataan ini sangat membutuhkan kualifikasi. Kehidupan kota sering kembali menjadi tradisional, agama sering membantu sekurelarisasi dan bertumpu pada aspek sudut pandangnya. Sebenarnya, seperti yang telah kita, tidak semua agama dunia menentang seluruh aspek sekulerisasi.
Kebanyakan agama dunia telah mengalami rasionalisasi sampai suatu tingkat tertentu dan karena itu mempercepat proses sekulerisasi. Agama alkitabiah yang tidak memandang  dunia sebagai hal yang suci merupakan faktor penting dalam sekulerisasi fikiran barat. Oleh karena itu dalam cara ringkasan tidak mungkin menggeneralisir terlalu jauh hubungan antara agama da sekurelisasi. Yang perlu dilakukan ialah menelaah agama tertentu dan reaksinya terhadap aspek tertentu dari proses sekulerisasi.


Daftar Pustaka

Johan Effendi, Dialog Antar Umat Beragama, Bisakah Melahirkan Teologi Kerukunan, dalam prisma, No.5,juni ,LP3ES,jakarta,1978
Madjid,Nurcholish,”Agama dan Masyarakat” dalam A.WW. Widjaja(ed), Manusia Indonesia, Individu, keluarga dan masyarakat, CV akademika Pressindo, jakarta,1986
f. o’dea. Thomas. “sosiologi agama”. 1985Jakarta: CV. Rajawali

Pengetahuan dan Kepentingan kritik atas positivisme

A.    Pengetahuan atas Positivisme
Keyakinan dalam pengembangan yang dinamakan positivisme semakin besar volumenya, positivisme sendiri adalah faham filsafat yang cenderung untuk membatasi pengetahuan benar manusia kepada hal-hal yang ddapat diperoleh dengan memakai metode ilmu pengetahuan. Disini Comte berusaha pengembangan kehidupan manusia dengan menciptakan sejarah baru, merubah pemikiran-pemikiran yang sudah membudaya, tumbuh dan berkembang pada masa sebelum comte hadir. Comte mencoba deengan keahlian berfikirnya untuk mendekonstruksikan pemikiran yang sifatnya abstrak ( teologis) mmaupun pemikiran yang pada penjelasan-penjelasannya spekulatif (metafisika).
Secara umum, para penganut paham positivisme memiliki mina kuat terhadap  sains dan mempunyai sikap skeptis terhadap ilmu agama dan hal-hal yang berbau metafisika. Mereka meyakini bahwa semua ilmu pengetahuan haruslah berdasarkan fakta yang jelas. Sehingga, penganut faham ini mendukung teori-teori paham realisme, materialisme, naturalisme filsafat dan empirisme. Salah satu teoti positivis logis yang paling dikenal antara lain teori tentang makna yang dapat dibuktikan, yang menyatakan bahwa sebuah pernyataan dapat disebut sebagai bermakna jika pernyataan  tersebut dapat diverivfikasi secara empiris.

Positivisme adalah satu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisik, tidak mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan pada data empiris. Sesungguhnya aliran ini menolak adanya spekulasi teoritis sebagai suatu ilmu sarana untuk memperoleh pengetahuan. Positivisme merupakan empirisme, yang dalam segi-segi pengetahuan apa saja merupakan pengetahuan empiris dalam satu atau lain bentuk, maka tidak ada spekulasi dapat menjadi pengetahuan.
Comte adalah tokoh aliran positivisme yang paling terkenal. Kaum positivisme percaya bahwa masyarakat merupakan bagian dari alam dimana metode metode penelitian empiris dapat dipergunakan untuk menemukan hukum-hukum sosial kemasyarakatan. Aliran ini tentunya mendapat pengaruh dari kaum empiris dan mereka sangat optimis dengan kemajuan dari revolusi perancis. Bagi Comte untuk menciptakan masyarakat yang adil diperlukan metode positif yang kepastiannya tidak dapat digugat. Metode positif ini mempunyai 4 ciri yaitu
-          Metode ini diarahkan pada fakta-fakta
-          Metode ini diarahkan pada perbaikan terus menerus dari syarat-syarat hidup
-           Metode ini berusaha kearah kepastian
-          Metode ini berusaha kearah kecermatan
Metode positif juga mempunyai sarana-sarana bantu yaitu pengamatan, perbandingan , eksperimen dan metode historis. Tiga yang pertama itu biassa dilakukan dalam ilmu-ilmu alam, tettapi metode historis khususnya berlaku masyarakat yaitu untuk mengungkapkan hukum-hukum yang menguasai perkembangan gagasan-gagasan.

B. Kritik terhadap Positivisme
Dari segi metodologi, teori kritis hadir sbagai reaksi terhadap dominasi pendekatan positivisme yang dinilai cenderung mereifikasi dunia sosial dan melihatnya sebagai proses yang netral sehingga tidak mengabaikan aktor. Dalam perkembangan ilmu sosaial, selama ini positivisme harus diakui telah cukup lama mendominasi kerangka berpikir teoritisi ilmu sosial dan diyakini sebagai media membawa sosiologi ke jalur ilmiah layaknya ilmu eksata. Namun, dalam perkembangannya kemudian positivisme disadari telah menyebabkan teori sosial mengalami stagnasi, cenderung bersifat konservatif, serta tidak mampu menentang sistem.
Teori krtitis umumnya mengkrritik positivisme yang terlalu menekankan penjelasan kausal atas perilaku manusia, dimana hal itu dinilai tidak dimungkinkan, sebab tindakan, institusi, dan keyakinan manusia pada dasarnya mengandung makna. Tugas studi ilmu sosial bukan menspesifikasikan hukum perilaku manusia yang serba seragam , melainkan memahaminya dengan mengintrepretasikannya dalam kaitan dengan niat subjektif individu. Positivisme dinilai para teoretisi kritos terlalu mengedepankan hukum tindakan manusia, padahal fakta-fakta ilmiah sesungguhnya akan selalu ditaklukkan dan dikonstruksi. Teori kritis dari Frankfrut School umumnya menolak positvisme yang terlalu mengagungkan sains, karena namanya kebenaran bukanlah diperoleh semata hanya pengukuran dan sejenisnya, melainkan karena dimata mereka se3mesta sosial sesungguhnya adalah dunia yand ditafsirkan.
Disatu sisi, mungkin benar cara kerja dan implementasi positivisme telah banyyak memperoleh pengakuan pada bidang ilmu-ilmu alam, tetapi ketika diterapkan dalam bidang ilmu sosial harus diakui ada sejumlah persoalan dan kemungkinan bias yang timbul.pertama, akibat positivisme terlalu menekankan dimensi observasi dan verifikasi praktik politik, daya dorong positivis ini akhirnya seringkali mempersempit secara tajam ruang analisis empiris. Ketakutan pada spekulasi menteknikalisasi ilmu sosial, mendorong pada presisi semu dan studi-studi korelasional yang remeh-remeh.
Kedua, daya dorong positivis juga mengakibatkan surplus energi yang dikerahkan pada inovasi metodologis, dan bukan konseptual, karena yang disebut tantangan ilmiah lebih dipahami sebagai pencapaian bentuk-bentuk yang lebih murni dari ekspresi observasional.
Ketiga , persuasi positivis juga melumpuhkan praktik sosiologi teoretis atau dengan kata lain mematikan keberanian sosiolog untuk berteori. Diakui atau tidak, penerapan positivme yang terlampau ketat, pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya reduksi ilmu pengetahuan, bahkan kematian ilmu pengetahuan itu sendiri yang makin menjauhi realitas sosial.
Berbeda dari positivisme yang bertujuan memproduksi hukum sosial, dan cenderung mengkaji realitas dan masalah sosial semata sebagai imbas atau dampak dari faktor sosial yang lain, dengan ukuran-ukuran amatan yang tertata, serta berbeda pula dari prespektif interpretatif yang hanya memahami tindakan sosial pada level makna, maka teori kritis umumya mencoba memahami realitas sosial sebagai refleksi dari proses dialektika dan resistensi subjektif individu yang tidak berdaya ditengah dominasi kekuatan struktur ekonomi dan reprresi kultural yang serba menekan.
Karl R Popper : kritik terhadap positivisme logis asumsi pokok teorinya adalah satu teori harus diuji dengan menghadapkan nya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya, dan Popper menyajikan teori ilmu pengetahuan baru ini sebagai penolakannya atas positivisme logis yang beranggapan bahwa pengetahuan ilmiah pada dasarnya tidak lain hanya berupa generalisasi pengalaman atau fakta nyata dengan menggunakan ilmu pasti dan logika. Dan menurut positivisme logis tugas filsafat ilmu pengetahuan adalah menanamkan dasar untuk ilmu pengetahuan. Hal yang dikritik oleh Popper pada positivisme logis adalah tentang metode induksi, ia berpendapat bahwa Induksi tidak lain hanya khayalan belaka, dan mustahil dapat menghasilkan pengetahuan ilmiah melalui induksi. Tujuan ilmu pengetahuan adalah mengembangkan pengetahuan ilmiah yang benar, untuk mencapai tujuan tersebut diperlukkan logika, namun jenis penalaran yang dipakai oleh positivisme logis adalah induksi dirasakan tidak tepat sebab jenis penalaran ini tidak mungkin menghasilkan pengetahuan ilmiah yang benar dan berlaku, karena kelemahan yang bisa terjadi adalah kesalahan dalam penarikan kesimpulan.
Durkheim juga sering dikritik karena menjadi seorang positivis, dan dia memang menggunakan istilah ini untuk melukiskan dirinya. Sekarang ini, positivisme berarti keyakinan bahwa fenomena sosial bisa dipelajari dengan metode yang digunakan ilmu alam, dan besar kemungkinan Durkheim memang menerima ini. Akan teetapi, istilah ini juga bisa berarti fokus pada hukum tunggal dan pengertian macam ini tidak terlalu banyak kita temukan dalam pemikiran Durkheim. Bagi Durkheim, fakta sosial lepas substratanya dan juga lepas otonom dalam hubungannya dengan fakta-fakta sosial lain. Masing-masing fakta sosial membutuhkan penelitian historis, dan tidak ada yang bisa memprediksi berdasarkan satu hukum saja.
Semangat Positivisme tidak hanya berkutat di ilmu pengetahuan alam semata, namun juga pada ilmu tentang masyarakat, atau ilmu sosial. Jadi bisa dikatakan bahwa melalui perkembangan teknologi dan positivisme pengetahuan, manusia bertekad agar masyarakat dapat dikontrol sebagaimana dalil-dalil ilmu alam.
Disinilah titik baliknya, ilmu pengetahuan yang positivistik sesuai dengan ilmu alam tadi, yang bersifar netral dan universal, ternyata bila ditempatkan pada ilmu pengetahuan sosial menjadi sangat berbeda. Karena dengan sifat netral dan universal tadi justru membuat pengetahuan tentang masyarakat menjadi mandeg dan tidak kritis.
Pemikiran Positivisme di bidang sosial sangat berpengaruh pada eranya (hingga kini).Marx pun menyesuaikan teorinya agar dapat diterima secara positivistis sebagai pengetahuan, yaitu melalui pernyataan bahwa kegiatan sejarah manusia adalah mengenai perkembangan alat produksi melalui kerja, dimana manusia dipandang dan direduksi hanya sebagai manusia yang melakukan produksi dalam masyarakatnya, atau sngkatnya rasionalitas  penguasaan alam.
Kini, positivisme banyak diserang oleh para kritikusnya. Nietzsche dalam berfilsafatnya menggunakan aforisme karena dia merasa bahwa manusia positifisme telah terjebak pada dekadensi (kemandekan) sistem, sebagaimana yang sudah diuraikan diatas, mitos yang mengfantikan mitos lama.

Teori Konflik

Teori Konflik

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Teori ini dipaparkan dalam rangka untuk memahami dinamika yang terjadi di dalam masyarakat. Dengan adanya perbedaan kekuasaan dan seumber daya alam yang langka dapat membangkitkan pertikaian (konflik) di masyarakat. Kelompok-kelompok kepentingan yang berbeda dalam system sosial akan saling mengajar tujuan yang berbbeda dan saling bertanding. Hal ini sesuai dengan pandangan Lock Wood, bahwa kekuatan –kekuatan yang saling berlomba dalam mengejar kepentingannya akan melahirkan mekanisme ketidakteraturan sosial (social disorder).
Para teoritis konflik memandang suatu masyarakat terikat bersama adalah kekuatan kelompok atau kelas yang dominant. Para fungsionalis menganggap nilai-nilai bersama (consensus) sebagai suatu ikatan pemersatu, sedangkan bagi teoritis konflik, consensus itu merupakan ciptaan dari kelompok atau kelas dominan untuk memaksakan nilai-nilai.
Teori konflik merupakan sebuah pendekatan umum terhadap keseluruhan lahan sosiologi dan merupakan toeri dalam paradigma fakta sosial. Mempunyai bermacam-macam landasan seperti teori Marxian dan Simmel. Kontribusi pokok dari teori Marxian adalah memberi jalan keluar terjadinya konflik pada kelas pekerja. Sedangkan Simmel berpendapat bahwa kekuasaan otoritas atau pengaruh merupakan sifat kepribadian individu yang bisa menyebabkan terjadinya konflik.

B. Rumusan Masalah
1. Pemikiran Marx tentang penyimpangan
2. Teori-teori konflik masa kini

BAB II
PEMBAHASAN

Teori konflik lebih menitikberatkan analisisnya pada asal usul terciptanya suatu aturan aeau tertib social. Teori ini tidak bertujuan untuk menganalisis asal-usul terjadinya pelanggaran peraturan atau latarbelakang seseorang berperilaku menyimpang. Perspektif konflik lebih menekankan sifat pluralistic dari masyarakat dan ketidakseimbangan distribusi kekuasaan yang terjadi diantara berbagai kelompoknya. Karena kekuasaan yang dimiliki oleh kelompok-kelompok elite, maka kelompok-kelompok itu juga memiliki kekuasaan untuk menciptakan peraturan, khususnya hokum yang dapat melayani kepentingan -kepentingan mereka. Berkaitn dengan hal itu, perspektif konflik memahami masyarakat sebagai kelompok-kelompok dengan berbagai kepentingan yang bersaing dan akan cenderung saling berkonflik.
A. Pemikiran Marx Tentang Penyimpangan
Banyak dari pemikir-pemikir kontemporer, khususnya yang berbasis perspektif konflik, mengambil dasar pemikirannya daripada ahli teori sosiologi klasik seperti Karl Marx. Perspektif konflik klasik melihat terbentuknya masyarakat tidak didasarkan atas suatu consensus terhadap nilai-nilai, tetapi karena suatu perjuangan diantara kelas-kelas social yang ada.
Marx melihat masyarakat dibentuk pertama kali dari dua kelompok dengan pertentangan kepentingan ekonomi : kelompok borjuis dan proletariat. Kelompok borjuis adalah kelas penguasa/pemegang peraturan, mereka adalah orang-orang kaya /makmur yang mengontrol sarana/alat-alat produksi-ekonomi, memiliki pengaruh besar pada lembaga-lembaga ekonomi dan politik masyarakat, serta memiliki jatah kekuasaan untuk melayani kepentingan mereka. Di sisi lain, proletariat diatur, mereka bekerja secara tereksploitasi oleh kaum borjuis.
Marx meramalkan bahwa kapitalisme akan mengembangbiakkan hokum-hukum kriminal, karena hokum tersebut dibutuhkan sebagai mekanisme untuk memelihara tatanan yang telah mapan. Pertama, hukum dapat mendefisinikan tingkah laku yang mungkin merupakan suatu ancaman atau perlawanan dari kepentingan-kepentingan para pembuat peraturan. Kedua, hukum mengesahkan ikut campurnya aparat control social ( pihak kepolisian, pengadilan dan system penjra/ lembaga pemasyarakatan) dimana semua kekuatan dari lembaga control itu digunakan untuk melawan orang-orang yang diatur, yang perilakunya kemungkinan besar berada dalam pelanggaran hukum. Dalam pandangan ini, hukum kriminal dating dari pihak kelas atas melawan kelas bawah. Konsepsi konflik Marx pada akhirnya bertalian dengan suatu system ekonomi khusus : kapitalisme.

B. Teori – teori Konflik Masa Kini
Para penulis pendekatan konflik pada masa kini melihat perilaku kriminal sebagai suatu refleksi dari kekuasaan yang memiliki perbedaan dalam mendefinisikan kejahatan atau penyimpangan. Ada sebagian pemikir konflik kontemporer yang mendefinisikan kriminalitas sebagai suatu fungsi dari posisi kelas social.
Teori- teori konflik kontemporer sering kali juga menganggap kejahatan sebagai suatu tindakan rasional. Orang-orang yang mencuri dan merampok telah didorong masuk ke dalam tindakan-tindakan tersebut melalui kondisi social yang disebabkan oleh distribusi kekayaan yang tidak seimbang, dimana kejahatan perusahaan dan berbagai kejahatan kerah putih secara langsung melindungi serta memperbesar modal capital meraka. Kejahatan yang terorganisir adalah suatu cara rasional untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan ilegal dalam masyarakat kapitalis.
Teori-teori konflik menganggap kejahatan sebagai suatu ciri-ciri yang tidak dapat diubah dari masyarakat kapitalis. Amerika serikat adalah satu dari masyarakat kapitalis tingkt tinggi/lanjut, dan tingkat atau angka kejahatannya tertinggi diantara Negara-negara didunia sat ini. Karena negara diatur untuk kepentingan dari kelas ekonomi dominan, kelas penguasa kapitalis. Akses untuk kesempatan berbuat kriminal berbeda-beda berdasarkan kelas, kelompok masyrakat miskin sulit untuk terlibat dalam penggelapan atau kejahatan perusahaan, maka mereka memilih perampokan dan bentuk-bentuk kejahatan lain menggunakan kekerasan.
Ada beberapa asumsi dasar dari teori konflik ini. Teori konflik merupakan antitesis dari teori struktural fungsional, dimana teori struktural fungsional sangat mengedepankan keteraturan dalam masyarakat. Teori konflik melihat pertikaian dan konflik dalam sistem sosial. Teori konflik melihat bahwa di dalam masyarakat tidak akan selamanya berada pada keteraturan. Buktinya dalam masyarakat manapun pasti pernah mengalami konflik-konflik atau ketegangan-ketegangan. Kemudian teori konflik juga melihat adanya dominasi, koersi, dan kekuasaan dalam masyarakat. Teori konflik juga membicarakan mengenai otoritas yang berbeda-beda. Otoritas yang berbeda-beda ini menghasilkan superordinasi dan subordinasi. Perbedaan antara superordinasi dan subordinasi dapat menimbulkan konflik karena adanya perbedaan kepentingan.
Teori konflik juga mengatakan bahwa konflik itu perlu agar terciptanya perubahan sosial. Ketika struktural fungsional mengatakan bahwa perubahan sosial dalam masyarakat itu selalu terjadi pada titik ekulibrium, teori konflik melihat perubahan sosial disebabkan karena adanya konflik-konflik kepentingan. Namun pada suatu titik tertentu, masyarakat mampu mencapai sebuah kesepakatan bersama. Di dalam konflik, selalu ada negosiasi-negosiasi yang dilakukan sehingga terciptalah suatu konsensus.
Menurut teori konflik, masyarakat disatukan dengan “paksaan”. Maksudnya, keteraturan yang terjadi di masyarakat sebenarnya karena adanya paksaan (koersi). Oleh karena itu, teori konflik lekat hubungannya dengan dominasi, koersi, dan power.
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Teori ini dibangun dalam rangka untuk menentang secara langsung terhadap teori fungsionalisme structural. Karena itu tidak mengherankan apabila proposisi yang dikemukakan oleh penganutnya bertentangan dengan proposisi yang terdapat dalam teori fungsionalisme structural. Dalam teori ini masyarakat senantiasa berada dalam proses perubahan yang ditandai oleh pertentangan yang terus menerus diantara unsur-unsurnya. Teori konflik melihat bahwa setiap elemen memberikan sumbangan terhadap disintegrasi social.kalau penganut teori fungsionalisme structural melihat anggota masyarakat terikat secara informal oleh norma-norma, nilai-nilai dan moralitas secara umum, maka teori konflik menilai keteraturan yang terdapat dalam masyarakat itu hanyalah disebabkan karena adanya tekanan atau pemaksaan kekuasaan dari atas oleh golongan yang berkuasa.


DAFTAR PUSTAKA

Ritzer, George, 1980, sosiologi ilmu pengetahuan berparadigma ganda
Narwoko, dwi. J, 2006, Sosiologi Teks Pengantar Dan Terapan,

http://punggeti-sosial.blogspot.com/2008/01/teori-konflik.html

Batik sebagai Budaya Bangsa Indonsia

Kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang didalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adapt istiadat dan kemampuan-kemampuan lain yang di dapat seseorang sebagai anggota masyarakat. Kebudayaan merupakan hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Perwujudan dari kebudayaan tersebut adalah benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi social, religi, seni dan lain-lain. Disini akan mengambil salah satu contoh kebudayaan yang diwujudkan dalam seni yakni seni batik dan budaya membatik.
Batik adalah kerajinan yang memiliki nilai seni tinggi dan telah menjadi bagian dari budaya Indonesia. Perempuan-perempuan jawa di masa lampau menjadikan keterampilan mereka dalam membatik sebagai mata pecaharian mereka sehari-hari untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya.
Pada dasarnya budaya itu adalah warisan dari generasi ke generasi, begitu pula tradisi membatik pada mulanya merupakan tradisi yang turun temurun, sehingga terkadang suatu motif dapat dikenali berasal dari batik keluarga dan daerah tertentu. Batik merupakan suatu kebudayaan yang menjadi citra bagi bangsa Indonesia.. awalnya pola batik masih didominasi dengan bentuk binatang dan tanaman. Namun kini berkembang pada motif abstrak , seperti relief candi, wayang,dan sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa budaya itu ditunjukkan atau ditandai oleh symbol-simbol dan dapat menyesuaikan dengan perkembangan zaman yang ada di dalam masyarakat.

Anomie

Anomie sangat umum terjadi apabila masyarakat sekitarnya mengalami perubahan-perubahan yang besar dalam situasi ekonomi. Dalam pandangan Durkheim, agama-agama tradisional seringkali memberikan dasar bagi nilai-nilai bersama yang tidak dimiliki oleh individu yang mengalami anomie. Lebih jauh lagi Durkheim berpendapat bahwa pembagian kerja yang banyak terjadi dalam kehidupan ekonomi menyebabkan individu mengejar tujuan-tujuan yang egois ketimbang kebaikan bersama dan cara –cara yang sah untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Dengan kata lain, individu yang mengalami anomie akan berusaha mencapai tujuan-tujuan bersama dari suatu masyarakat tertentu. Namun tidak dapat mencapai tujuan-tujuan tersebut dengan sah karena keterbatasan social.
Dari pemaparan di atas dapat kita ambil contoh para koruptor di Negara kita ini. Apalagi yang backgroundnya dari wakil rakyat dan para pejabat pemerintahan. Anomie tumbuh karena rusaknya system nilai budaya. Ketika seorang individu dengan kapasitasnya yang ditentukan struktur social tiba-tiba kehilangan kemampuan mengendalikan tindakannya dengan norma-norma dan tujuan budaya. Para pejabat tidak lagi melakukan kewajiban mereka sebagai wakil rakyat, mereka lupa dengan janji-janji pada saat kampanye. Apa yang terjadi setelah mereka menjadi wakil rakyat, tak sedikit wakil rakyat melakukan korupsi. Mereka mengabaikan hukum yang ada. Hal itu terjadi karma hukum di Indonesia yang sudah tidak tegas lagi. Hukum di Negara ini dapat dibeli dengan uang dan hanya berlaku untuk rakyat kecil. Mereka tidak dapat mencapai tujuan-tujuan sebelumnya dengan sah dan baik, akibatnya mereka akan memperlihatkan perilaku menyimpang untuk memuaskan dirinya sendiri.

Pnyimpangan Sosial ( perilaku menyimpang )

Dalam kehidupan masyarakat, semua tindakan manusia dibatasi oleh aturan atau norma untuk berbuat dan berperilaku sesuai dengan sesuatu yang dianggap baik oleh masyarakat. Namun demikian, di tengah kehidupan masyarakat kadang-kadang maih kitajumapi tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan aturan(norma) yang berlaku pada masyarakat. Kita ambil contoh yang paling sederhana, seorang siswa yang ktika ujian sekolah menyontek dan tindakan mencuri. Tindakan tersebut kea rah nilai-nilai yang di anggap rendah dan selalu mengakibatkan hal yang buruk. Tindakan tersebut terjadi dikarnakan siswa tidak sanggup menyerap norma-norma kebudayaan. Siswa yang tidak sanggup menyerap norma-norma kebudayaan di dalam kepribadiaannya, ia tidak dapat membedakan hal yang pantas dan yang tidak pantas. Hal ini terjadi akibat dari proses sosialisasi yang tidak sempurna. 

Rabu, 22 Februari 2012

My LoveLy » Ibu *.~

Ibuu, ditelapak tanganku ada airmata yang selalu ku pejamkan.. saat bercerita tentangmu pada Tuhan.. Ingin kudapati engkau tak hanya di dunia ini, tetapi juga setelahny..

Tak ada guru yang lebih baik darimu bunda, dalam hal mencintai, dan menyayangi..
Tiada lagi yang lebih maha hawa selain engkau.. Ibu..

Rindu kepadamu Ibu adalah sesuatu yang tak terhitung secara matematis..
Wanita yang mencintai dengan tulus, dia slalu bisa memaafkan kesalahan dengan alasan yang tak bisa dijabar oleh logika.. Engkaulau ibuku..

Maaf kan lah anak Mu ini yang hingga sekarang belum berterimakasih atas semua kasih sayangmu & pengorbananMu yang tak terhingga..

Luv U ibuu...:)