Senin, 27 Februari 2012

Agama Dan Konflik

. Di satu sisi agama dipandang oleh pemeluknya sebagai sumber moral dan nilai, sementara di sisi lain dianggap sebagai sumber konflik. Meminjam istilah Afif Muhammad, “agama acapkali menampakkan diri sebagai sesuatu yang berwajah ganda”. Hal itu seperti yang disinyalir oleh Johan Efendi [1], yang menyatakan bahwa agama pada suatu waktu memproklamirkan perdamaian, jalan menuju keselamatan, persatuan, dan persaudaraan, namun pada waktu yang lain menampakkan dirinya sebagai sesuatu yang dianggap garang dan menyebar konflik, bahkan tak jarang seperti dicatat dalam sejarah, menimbulkan peperangan.

A.    Agama dan Indikasi Konflik
Pada dasarnya, apabila merujuk kepada Al Quran, banyak indikasi yang menjelaskan adanya faktor konflik yang ada di masyarakat. Secara tegas, Al-Quran menyebutkan bahwa faktor konflik itu sesunnguhnya berawal dari manusia. Misalnya dalam Surat Yusuf ayat 5 dijelaskan tentang adanya kekuatan pada diri manusia yang selalu berusaha menarik dirinya menyimpang  dari nilai-nilai dan norma Ilahi. Atau, secara lebih tegas disebutkan bahwa kerusakan bisa berbentuk kerusuhan, demonstrasi dan lain-lain yang diakibatkan oleh tangan manusia. Penganut suatu agama tentu saja manusia, dan manusia adalah bagian dari masyarakat. Penganut agama adalah orang yang meyakini dan mempercayai suatu ajaran agama. Keyakinan itu akan melahirkan bentuk perbuatan baik atau buruk, yang dalam term islam disebut “aaml perbuatan”. Dari mana mereka meyakini bahwa suatu perbuatan itu baik dan buruk. Keyakinan ini dimiliki dari rangkaian proses memahami dan mempelajari ajaran agama itu. Oleh karana itu, setiap penganut akan berbeda dan memiliki kadar interpretasi yang beragam dalam memahami ajaran agamanya, sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Akibat perbedaan pemahaman itu saja, cikal bakal konflik tidak bisa dihindarkan. Dengan demikian, pada sisi ini agama memiliki potensi yang dapat melahirkan berbagai bentuk konflik. Paling tidak konflik seperti ini adalh konflik intra-agama atau disebut juga konflik antarmazhab, yang diakibatkan oleh perbedaan pemahaman terhadap ajaran agama.
Paling tidak ada dua pendekatan untuk sampai pada pemahaman agama. Pertama, agama dipahami sebagai suatu dari doktrin dan ajaran dan kedua, agama dipahami sebagai aktualisasi dari doktrin tersebut yang terdapat dalam sejarah. Dalam ajaran atau doktrin agama, terdapat seruan untuk menuju keselamatan yang dibarengi mengajak orang lain menuju keselamatan tersebut. Dan dalam pengalaman suatu ajaran agama oleh pemeluknya, tampak kesenjangan jika dibandingkan dengan doktrin agamanya.
Oleh karena itu, dalam setiap agama, ada istilah dakwah, meskipun dalam bentuk yang berbeda. Dakwah merupakan upaya mensosialisasikan(mengajak,menyeru) ajaran agama. Bahkan, tidak jarang masing-masing agama menjastifikasi bahwa agamanya lah yang paling benar. Apabila kepentingan  ini lebih di kedepankan, masing-masing agamaakan berhadapan satu sama lain dalam menegakkan kebenarannya. Ini yang memunculkan adanya sentimen agama. Maka tidak mustahil benturan pun sulit dihindarkan. Dan inilah yang melahirkan konflik antaragama bukan intra-agama.
Pada tataran ini tampaknya agama tidak hanya menjadi faktor pemersatu (integrative factor), tetapi juga faktor disintegratif( disintegratife factor). Faktor disintegratif timbul karena agama itu sendiri memiliki potensi yang melahirkan intoleransi(konflik), baik karena faktor internal  ajaran agama itu sendiri maupun karena faktor eksternalnya yang sengaja dilakukan oleh pihak-pihak tertentu yang mengatasnamakan agama. Apalagi, tampaknya dalam pembendaharaan perpolotikan kita, ada kecenderungan agama disejajarkan dengan persoalan kesukuan dan rasisme(rasialisme). Dua hal ini sebetulnya mengandung klerawanan dan kepekaan yang sangat tinggi, yang kemudian mengundang benih-benih timbulnya sektarianisme.
Dalam hal ini, kiranya perlu dipertimbangkan pandangan Nurcholis Madjid[2], yang menyarankan agar agama tidak di sejajarkan dengan suku dan ras. Dan pada sisi ini dirasakan perlunya memandang istilah Toleransi Beragama. Sebab, setiap agama mengajarkan kasih sayang dan toleransi. Sebenarnya, cara pemahaman dan pengalaman para penganutya yang seringkali membuat ajaran tersebut menjadi kabur.

B.   Perbedaan Doktrin dan Sikap Mental
Konflik sebagai kategori sosiologis yang bertolak dengan pengertian perdamaian dan kerukunan. Dalam konteks ini konflik sebagai fakta sosial melibatkan minimal dua pihak (golongan) yang berbeda agama, bukannya sebagai konstruksi melainkan sebagai sejarah yang masih terjadi pada zaman sekarang ini.
Masyarakat kita yang terkenal sebagai masyarakat beragama memang tidak dengan, sendirinya menjadi masyarakat yang ideal, karena tidak ditempati oleh penghuni yang ideal yaitu mereka yang belum sanggup mengekang hawa nafsunya, belum saling mencintai sebagaimana dituntut oleh agamanya. Yang sering ada justru sikap-sikap mental yang negatif itu, yang sering terjadi justru ketegangan, ketakutan dan kecemasan.

C.   Perbedaan Suku dan Ras pemeluk Agama
Bahwa perbedaan suku dan ras berkat adanya agama bukan menjadi penghalang untuk menciptakan hidup persaudaraan yang rukun. Dan hal itu tidak perlu dibicarakan lagi, namun apakah perbedaan suku dan ras ditambah dengan perbedaan agama menjadi penyebab lebih kuat untuk menimbulkan perpecahan antar umat manusia. Bahwa faktor ras itu sendiri terlepas dari agama sudah membuktikan dengan bertambahnya permusuhan dan pencarian jalan keluarnya. Asumsi yang terkenal itu dan telah mengundang banyak sanggahan yang gigih ialah Arthur de Gobineau, dalam karangannya yang menjadi klasik, “Essai sur I’inegalite de races humaines”. Asumsi itu pada intinya menyatakan bahwa ras kulit putih merupakan ras tertinggi bangsa manusia, dan bahwa ras itu dipanggil untuk membawakan obor kemajuan di dunia ini, dan bahwa ras yang bukan kulit putih ditakdirkan untuk tidak dapat menghasilkan sesuatu yang berarti dalam bidang kemajuan.
Namun kenyataan sejarah tidak dapat di bantah bahwa ras kulit putih sejak awal tarikh Masehi memeluk agama Kristen yang nantinya oleh Max Weber dinyatakan sebagai kekuatan yang mendatangkan kemajuan dalam berbagai sektor peradaban, khususnya kapitalisme dan teknologi.

D.    Perbedaan tingkat kebudayaan
Dalam kenyataanya bahwa tingkat kemajuan budaya berbagia bangsa ini tidak sama. Demi mudahnya pendekatan kita bedakan saja menjadi dua tingkat kebudayaan, yaitu kebudayaan tinggi dan kebudayaan rendah. Tolak ukur untuk menilai dan membedakan kebudayaan dalam dua kategori itu berupa asumsi yang sudah umum, pertama akumulasi ilmu pengetahuan positif dan teknologis di stu pihak pembangunan fisik di lain pihak dan kedua yaitu bahwa agama itu merupakan motor penting dalam usaha manusia menciptakan tangga-tangga kemajuan. Dari asumsi tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa adanya ketegangan antara bangsa yang berbudaya tinggi dan bangsa yang berbudaya masih rendah yang dialami dunia dari masa lampau hingga sekarang ini tidak dapat dilepaskan dari pertanggungjawaban agama-agama yang di anut oleh bangsa-bangsa yang bersangkutan. Secara moral agama-agama tidak bisa cuci tangan atas terjadinya jurang diskriminatif antara bangsa maju dan bangsa yang terbelakang. Keterlibatan agama-agama dalam hal tanggung jawab atas masalah tersebut tidak bisa terelakkan, bila kita berpegangan pada asumsi bahwa ilusi keunggulan ras(kulit putih) sebagai faktor penyebab kemajuan kebudayaan tidak dapat kita terima. Demikianlah agama merupakan motor dan promotorpenting dalam bagi pembudayaan manusia khususnya dan alam semesta umumnya.
Dalam rangka pemikiran di atas dapat di katakan bahwa masyarakat beserta kebudayaan merupakan sebuah usaha manusia untuk membangun dunianya. Dan agama menduduki tempat tersendiri dalam usaha itu. Kekhususan fungsi dalam hal ini ialahbbahwa agama menangkap dunia ini dalam pengertian-pengertian yang serba suci. Tepatnya yang harus dikatakan, bukan agama itu sendirilah yang membangun dunia, tetapi manusia yang berinspirasi pada agama yang dipeluknya.
Kalau asumsi bahwa agama memainkan peranan dominan dalam menciptakan masyarakat budaya dan melestarikan alam semesta itu benar, maka adalah suatu kewajiban moral dari bangsa-bangsa yang agamanya kurang berfungsi (disfungsional) untuk meninjau kembali agamanya. Masalah yang amat kompleks itu tidak dapat diatasi dalam waktu dekat, apalagi hanya oleh studi sosiologis saja, karena ini berhadapan dengan masalah teologis.

E.    Agama dan Sekularisasi
Sekularisasi kebudayaan meliputi penyusutan hal yang sakral dan peningkatan rasionalitas fikiran manusia. Dua-duanya merupakan perubahan brntuk pemikiran dan transformasi masyarakat, karena menyangkut perubahan dalam cara berfikir dan kegiatan utama manusia, maka ia juga melahirkan perubahan dalam struktur sosial masyarakat. Masyarakat perkotaan yang sibuk dengan kegiatan keduniawian ini berkembang sebagai dasar struktural perubahan-perubahan bentuk dan cara berfikir. Tampilnya kebudayaan sekuler pada dasarnya merupakan perkembangan anti agama atau paling tidak “kontra-agama”. Tetapi pernyataan ini sangat membutuhkan kualifikasi. Kehidupan kota sering kembali menjadi tradisional, agama sering membantu sekurelarisasi dan bertumpu pada aspek sudut pandangnya. Sebenarnya, seperti yang telah kita, tidak semua agama dunia menentang seluruh aspek sekulerisasi.
Kebanyakan agama dunia telah mengalami rasionalisasi sampai suatu tingkat tertentu dan karena itu mempercepat proses sekulerisasi. Agama alkitabiah yang tidak memandang  dunia sebagai hal yang suci merupakan faktor penting dalam sekulerisasi fikiran barat. Oleh karena itu dalam cara ringkasan tidak mungkin menggeneralisir terlalu jauh hubungan antara agama da sekurelisasi. Yang perlu dilakukan ialah menelaah agama tertentu dan reaksinya terhadap aspek tertentu dari proses sekulerisasi.


Daftar Pustaka

Johan Effendi, Dialog Antar Umat Beragama, Bisakah Melahirkan Teologi Kerukunan, dalam prisma, No.5,juni ,LP3ES,jakarta,1978
Madjid,Nurcholish,”Agama dan Masyarakat” dalam A.WW. Widjaja(ed), Manusia Indonesia, Individu, keluarga dan masyarakat, CV akademika Pressindo, jakarta,1986
f. o’dea. Thomas. “sosiologi agama”. 1985Jakarta: CV. Rajawali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar